Kisah Pejalan Perempuan

Kisah Pejalan Perempuan
Haruskah Pejalan Perempuan Dipandang Sebelah Mata?
Pejalan Perempuan - Kami perempuan dan kami tahu seperti apa layaknya seorang perempuan bertindak tanduk. Kami tahu bagaimana membatasi diri dalam setiap pergaulan, kami tahu dimana tempat sebagai penyesuaian dalam bersikap. Tidak mengeherankan apabila kami dipandang sebelah mata karena kami 'keluyuran' seharian bahkan terkadang sampai pulang malam, atau justru yang paling teranggap parah adalah menginap di luar rumah. Mayoritas kawan kami adalah laki-laki, bukan karena kami mengesampingkan persoalan gender dan menganggap remeh kultur budaya masyarakat, namun menjadi Pejalan Perempuan adalah kebutuhan hidup yang sudah melekat pada diri dan jiwa kami, kami pecicilan dengan gaya khas santai kami, kamipun tidak akan mampu menahan gelak tawa cekakakan dengan hanya senyum tipis supaya terlihat manis, tidak jarang dalam setiap pertemuan terkikis rasa berdosa untuk saling membully satu sama lain, namun tidak kelewatan batas, lalu hanya dari hal itu membuat kalian orang yang tidak tau apa-apa mencemooh kami? Tidak adakah sedikit pandangan positif untuk kami? Ataukah memang stigma yang sudah melekat untuk Pejalan Perempuan sangat sulit untuk dipertimbangkan sekali lagi?
Tahukah kalian apa yang kami lakukan dibalik pilihan kami menjadi Pejalan Perempuan? Kami mempunyai kesibukan yang menyita sebagian besar waktu kami. Kami bekerja seharian penuh di hari aktif (Senin-Sabtu), kami selalu membantu orang tua kami dengan melaksanakan apapun yang mereka perintahkan dan itu tanpa bantahan, bukan hanya membantu orang tua kami - tetapi siapa saja yang memerlukan bantuan kami. Tidak berhenti pada kesibukan pekerjaan saja, kami juga sibuk dengan lembaran proposal pun makalah yang dikejar-kejar deadline, tidak ketinggalan tugas-tugas yang lainpun menumpuk di depan mata kami. Belum pekerjaan rumah yang menanti setiap harinya, yang seolah-olah juga tiada habisnya (memasak, menyapu, mencuci baju, dsb). Kami tidak pernah melupakan hal itu, apalagi melupakan kewajiban kami dengan kodrat sebagai perempuan.
Terlepas dari itu semua, kami juga butuh menghibur diri, dengan mengexplor hobby yang sudah melekat pada jiwa kami, dan itu adalah petualangan. Kami tahu konsekuensi dari setiap pilihan, termasuk konsekuensi untuk memilih bertualang. Tidak semua masyarakat bisa memberi respon yang baik terhadap perempuan yang mempunyai hobby petualang, mungkin dipandang sebelah mata itu salah satu konsekuensi yang kami terima. Hmmmm. Tidak apalah bagi kami menerima pandangan mereka dengan asumsi sepihak tanpa tahu bagaimana yang sebenarnya, sejauh kami tidak merugikan mereka atau siapa saja itu tidak akan mempengaruhi hobby bahkan hidup kami. Apa mereka pikir seorang perempuan yang keluyuran seharian, pulang malam, dan menginap di luar rumah itu tidak peduli dengan ibadahnya? Oh Tidak, sempit sekali pemikiran mereka jika mereka berpikir sedemikian rupa. Sekalipun kami tidak melalaikan ibadah kami, justru berada di alam semakin memperkuat rasa cinta kami kepada pencipta, dan semakin khusyuk kami beribadah. Tidak percaya? Silahkan dicoba.
Dan dari semua cemoohan itu terbesit suatu prinsip, kami tidak suka menjadi munafik supaya terlihat baik. Toh yang berhak menilai baik atau buruk seseorang itu hanyalah Tuhan, lantas disini apa hak mereka berani menghakimi kami?
Kami siap mempertanggungjawabkan dihadapan-Nya kelak atas hobby dan apapun yang kami lakukan. Jadi tidak perlu mengajari kami bagaimana seorang perempuan supaya TERLIHAT BAIK, karena maaf, kami tidak mempunyai hobby untuk PURA PURA menjadi BAIK.


Belum ada Komentar untuk "Kisah Pejalan Perempuan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel