Catatan Singkat Kisah Hidup Penulis (Blog Tri Wahyuni)

Secercah Sinar harapan Untuk Kesayangan (Dia Si Korban Brocken Home)
Masa kecil dan pra-remajanya
Keluarga ini merupakan salah satu potret keluarga sederhana dari sekian banyak keluarga yang ada di Indonesia. Keluarga kecil yang terdiri dari sepasang suami istri yang mempunyai 3 orang anak, 2 menantu, dan tiga cucu (1 laki-laki, 2 perempuan). Dan saya adalah anak ketiga perempuan satu-satunya dari 3 orang anak yang dilahirkan oleh sepasang suami istri tersebut.

Cerita ini saya awali dari kisah kedua sodara laki-laki saya. Kedua sodara laki-laki saya menikah bisa dibilang di usia yang begitu belia dan tanpa pemahaman atau bekal yang kuat untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Kakak saya yang pertama, pendidikannya sekolah menengah pertama yang tidak sampai tamat, sedangkan kakak kedua saya pendidikannya mencapai sekolah menengah atas. Mungkin pendidikan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tata cara mereka dalam membangun keharmonisan rumah tangga.

Fokus yang akan saya ceritakan disini adalah kakak pertama saya dan kehidupannya. Kakak pertama saya menikah di usia sekitar 20 tahun, bisa dibilang usia yang sangat belum ideal bagi seorang pria untuk mengambil langkah menikah pada masa itu ataupun pada masa sekarang.  Jika dibandingkan dengan saya, di usia itu saya masih sibuk-sibuknya mengejar gelar Sarjana Pendidikan. Dan ternyata benar, tidak berlangsung lama, setelah kelahiran anak pertamanya, dia dan istrinya mulai merasakan ketidakcocokan. Istrinya pun memutuskan mengambil langkah untuk mengais rezeki di Negara orang, atau yang kita kenal dengan TKW. Tepat pada saat itu anaknya masih berusia 2 tahun. Selepas kepergian istrinya, kakak saya mengalami cobaan yang bertubi-tubi (kecelakaan lalulintas dan kecelakaan dalam bekerja), dari hal itu membuat saya serta kedua orangtua saya bertanggung jawab penuh mengasuh anaknya.
 Baca Juga : Menikah itu Didasari Rencana, Bukan Mendasari Bencana.
Selang beberapa tahun, hari demi hari, bulan demi bulan, istrinya tidak pernah memberi kabar sampai anaknya masuk ke Sekolah Dasar. Akhirnya, keputusan yang paling berat terjadi, kakak saya memutuskan bercerai dengan istrinya, dan meninggalkan anak yang masih usia dasar. Diusia sekecil itu yang dia tau hanyalah kebencian terhadap ibunya, kebencian yang tertanam hingga remaja, sekalipun saya dan kedua orang tua meyakinkan dia untuk tidak membenci ibunya. Yang anak sekecil itu tau hanyalah kenyataan yang terjadi, bahwa ibunya pergi, ibunya tidak menyayangi dia, pemikiran semacam itu dipegang dia dan melekat dalam dirinya.

Lalu ketika si anak menginjak kelas 4 SD, giliran kakak saya yang mengambil langkah untuk merantau di pulau seberang. Kira-kira pada saat itu saya baru saja lulus SMA, sejak saat itulah hak asuh keponakan beralih ke saya sepenuhnya. Mulai dari situ tekad yang ada di hati saya adalah bagaimana cara mendidik keponakan saya supaya menjadi laki-laki sukses! Hal itu juga yang membuat saya semangat untuk bekerja, semangat belajar, semangat mendidik, karena saya sadar keponakan saya menjadi tanggung jawab besar saya, Dunia Akhirat.

Disaat remaja seusia saya saat itu bergantung meminta uang dan menjadi penikmat harta dari keluarga mereka, bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, disaat itulah saya dengan bangganya bisa membantu menanggung kebutuhan hidup keponakan saya 8 tahun terakhir ini. Bukan hanya penghasilan yang harus saya bagi dengan dia, sayapun harus membagi sebagian waktu saya, mencurahkan kasih sayang setulusnya, dan melakukan apapun untuk membuat dia bahagia. Begitu saya rasakan kerasnya hidup, menjadi seseorang yang bisa dibilang single fighter (pejuang tunggal yang berperan dengan berbagai profesi) demi kehidupan keponakan saya supaya tidak kekurangan satu apapun.
Secercah Sinar harapan Untuk Kesayangan (Dia Si Korban Brocken Home)
Bisa saja dibayangkan, bagaimana saya menjadi temannya dan terjun pada setiap dunia yang dia geluti supaya nakalnya tetap terkendali?
Bisa dibayangkan bagaimana saya menjadi ibu, menasehatinya saat saya harus berurusan dengan guru konseling dan walikelasnya?
Bisa dibayangkan bagaimana saya sebagai kakak dengan cekatan memilihkan baju, celana, gel rambut, minyak wangi, dan facial wash yang cocok untuk dia?
Bisa dibayangkan bagaimana saya menjadi ayah yang siap berdamai dan mendukung dari belakang saat dia memutuskan untuk mengikuti Pencak Silat pada organisasi tertentu?
Bisa dibayangkan bagaimana saya menjadi perawat, merawat luka saat dia jatuh dan dagunya harus dijahit, menyiapkan obat yang harus diminum ketika dia menderita demam/flu, menguatkan dia di dalam mobile ambulance saat dia mengalami kecelakaan, dan menungguinya sendirian semalam suntuk di Rumah Sakit?
Bisa dibayangkan bagaimana saya menjadi seorang tante dengan bakat koki saat harus menyiapkan makanan kesukaannya?
Saya merasa tidak ada yang tidak bisa saya lakukan untuk membahagiakannya?
Bahkan saya bekerja keras untuk saya sendiri dan untuk dia, demi terpenuhi semua kebutuhannya.

Mungkin seperti itulah yang orang tua saya dan orang tua kita semua rasakan untuk memberi yang terbaik kepada kita selaku buah hatinya.
Saya selalu bersikeras meminta dia untuk belajar mengaji, sholat, harus mendapat nilai yang bagus, berbicara sopan, berbuat baik kepada siapapun, tidak membenci orang (bahkan ibunya). Saya selalu cerewet membebani dia dengan banyak aturan. Menyuruh dia membantu apapun yang saya kerjakan, karena apa? Pada saatnya nanti dia akan tahu, mengapa saya sekeras ini dalam mendidik dan mengasuhnya.

Ketika dia juga membaca tulisan ini, saya ingin mengingatkan kepadanya bahwa:
Ada seorang wanita yang berjuang keras dibelakangmu dan selalu mendukungmu untuk menjadi laki-laki sukses, supaya tidak lagi tercipta bayangan masalalumu di masadepanmu.!
Saya tidak tahu sampai kapan saya akan selalu ada buat dia, tetapi satu hal yang pasti dia adalah keberuntungan saya selama ini, dia adalah salah satu motivasi saya untuk berkarya, untuk berkarir, terus dan terus, saya ingin menjadi saksi perjalanan dia menuju kesuksesannya. Sayapun berharap, dengan hidup yang penuh warna-warni seperti ini, menjadikan dia laki-laki yang mandiri, bertanggung jawab atas hidup yang dia emban, tangguh menghadapi kerasnya hidup, dan tetap menjadi baik seperti do’a yang selalu saya panjatkan kepada Sang Maha Penciptanya.

Kakak Selalu Menyayangi dan Mendoakanmu..

Buat anak-anak korban Brocken Home di luar sana: Jangan berkecil hati, sedih, dan putus asa, lalu menjerumuskan diri terjun bebas pada dunia kenakalan remaja. Hidupmu terlalu indah dan sempurna untuk kalian nodai dengan berbagai kegiatan negatif. Buka mata kalian, di luar sana ada banyak bahkan ribuan anak yang mempunyai nasib tragis lebih dari kalian. Ayo bangkit, tunjukkan kepada siapa saja yang membuat kalian sakit, bahwa balas dendam terbaik adalah menjadi sukses dengan mengasah bakat dan mengembangkan potensi diri terbaik yang kalian miliki.! Hal itu lebih elegan, daripada bangga dengan kenakalan yang merusak hidup kalian.!


Catatan Tambahan: 
Artikel ini saya tulis bukan bermaksud untuk mengumbar aib keluarga atau bahkan memamerkan perbuatan yang saya lakukan. Saya hanya menjalankan kewajiban saya untuk menyayangi keponakan saya dengan melakukan apa yang perlu saya lakukan.
Berkaitan dengan kisah yang seharusnya menjadi konsumsi pribadi tetapi justru saya tulis di blog saya, hal ini saya lakukan sebagai bahan pembelajaran kita semua. Mengingat perceraian di jaman sekarang bukanlah menjadi hal yang tabu lagi. 
Semoga dengan adanya kisah-kisah seperti ini, membuat kita benar-benar memilih pasangan yang tepat untuk menggenapkan separuh agama, satu untuk seumur hidup. Karena apabila kita salah memilih, bukan hanya kita saja yang rugi, tetapi anak kita yang dasarnya adalah para generasi penerus bangsa.
Terimakasih, mari berpikir bijak.!

1 Komentar untuk "Catatan Singkat Kisah Hidup Penulis (Blog Tri Wahyuni)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel