Surat Balasan Untuk Masalaluku

Maaf baru membalas suratmu setelah bertahun-tahun berlalu. Aku memang sengaja membalas semua rentetan kalimatmu yang kau tulis, dengan menunggu waktu ini tiba. Kau tahu? Tepat sehari sebelum balasan suratmu ini ku tulis, aku baru saja menyelesaikan Tesis-ku, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan dan lulus S2 ku. Bagaimana? Apa sampai detik pendidikan ini ku selesaikan, aku terlihat seperti pecundang yang menjilat ludahnya sendiri? Sudah, lupakan soal pecundang. Aku tidak mau kau baper hanya karena membaca kata pecundang.

Seperti yang beberapa tahun lalu aku katakan, aku akan meneruskan pendidikanku, dan kau bilang kaupun akan menunggu sebab tidak ada yang bisa menggantikan aku di hatimu. Terlalu manis bukan? Namun lambat laun, aku tidak tau bagaimana pastinya sampai peristiwa lain terjadi. Hanya beberapa hal yang bisa aku cerna hingga sekarang dari semua pengakuan yang kau tuliskan. Pada intinya, kau dan keluargamu tidak menyukai aku yang mulai menggeluti hobby yang berbalik 180 derajat dari diriku sebelum-sebelumnya. Oke, aku masih bisa mencerna sekelumit kalimat tidak suka itu.

Aku pikir kamu hanya bercanda karena ketidaksukaanmu terhadap hobby-ku. Bahkan aku merasa jika ketidaksukaanmu itu terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Benar, saat itu aku memang memberanikan diri keluar dari zona nyaman yang kau ciptakan, zona dimana yang aku tau hanya menunggu dan menunggumu. Tentunya kau tau bagaimana sakitnya memenjarakan hobby yang seharusnya tersalurkan. Sedangkan diriku saja sama sekali tak pernah membatasi hobbymu dan apapun yang menjadi kesenanganmu.

Ternyata, pada suatu ketika, ketidaksukaanmu yang aku pikir bercanda, kau buktikan dengan berita pernikahanmu yang aku dengar tidak dari mulutmu. Ommooo..... Syok? Siapa yang tidak akan syok mendengar semua itu, setelah kalimat menunggu dan tidak ada yang bisa menggantikanku terngiang-ngiang ditelingaku. Dan teganya kalimat itu juga yang menghunus tepat di dadaku, membuatku hampir mati sesak saat itu. Oke, aku akui, aku memang benci, benci dengan dalih-dalih yang kau gunakan untuk mengalihkan cara terbangsatmu karna kau ingin pergi.! Tak perlulah kau caci maki aku, kau salah-salahkan aku karna hobby-ku. Dasar Pecundang.!

Hingga kau tahu, sumpah serapah tak luput keluar dari mulut yang dulu selalu memberimu motivasi, menasehatimu, melemparkan candaan konyol padamu dan tidak lelah menanggapimu bicara.
"Jangankan untuk tersenyum padamu, melihat muka polos hipokritmu saja aku tak sudi!"
Tiba-tiba, Sore itu Tuhan ingin menguji sumpah serapahku. Di suatu tempat tanpa sengaja kita bertemu, beberapa minggu setelah pernikahanmu berlangsung. Ciihh, sekalipun kau tatap aku dari jarak jauh hingga jarak dekat, jangan berharap aku mau menyunggingkan senyumku. Sekedar memanggil namamu saja itu adalah hal terharam yang aku lakukan. Lalu, ibuku marah mendengar cerita tentang pertemuan tidak sengajaku denganmu. Beliau marah, karena beliau mendidikku tidak untuk membencimu! Beliau merasa, beliau membesarkanku tidak untuk menjadi seorang pendendam! Ibuku bilang aku harus mengikhlaskanmu. Ikhlas yang bagaimana lagi versi ibuku itu? Sedangkan anaknya mati-matian tetap berdiri teguh menahan cabikan tepat di dada, bertahan karena hujaman hati hingga tak lagi menemukan sisa ruang untuk merasakan kehidupan. Yaa, hatiku mati Ibu.

Aku ikhlas, ikhlas membiarkanmu pergi tanpa mengusikmu, untuk mengikrarkan akad kepada wanita lain di depan penghulu. Tetapi aku benar-benar tidak ikhlas dengan cara terbangsatmu. Aku tidak suka kau kambing hitamkan hobby ku sebagai alasan perpisahan kita.

Hay Masalaluku, aku tulis balasan suratmu ini bukan sebagai bentuk penyesalanku. Tapi merupakan puncak keikhlasanku untuk melepas semua kebencian atas cara terbangsatmu yang selama ini bersamayam di dalam hatiku.

Dan yang perlu kau tahu, baik tidaknya seorang wanita tidak hanya dinilai dari apakah dia pendiam atau anak rumahan! Tapi ada hal yang lebih penting dari itu semua, yaitu kesetiaan dan kepatuhan? Bukankah itu sudah kau dapatkan dari aku? Banyak yang munafik supaya terlihat baik, dan aku tidak suka untuk menjadi itu. Aku berkawan dengan banyak pria, hatiku stay di kamu. Lalu,  kepatuhanku? Kepatuhanku bukan berarti aku harus menuruti semua inginmu seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku menyukai kebebasan dan aku mencintaimu, tidakkah kau percaya kepadaku saat itu? Setelah hubungan yang terjalin diantara kita tidak hanya terhitung hari. Pantas saja, kau gunakan cara terbangsatmu untuk pergi karena rasa tidak percayamu kepadaku. Apa kau tak punya cara lain selain cara terbangsatmu yang membuatku dihantui rasa takut tidak ada yang bisa menerima kelakuanku kau bilang?

Andai saja kau benar-benar memahami, mengapa aku selalu survive pada hubungan kita yang dibilang tidak sebentar. Itu terbawa karena jiwa petualanganku yang mengharuskan aku bisa bertahan denganmu dan melewati semua keadaan. Baik suka maupun duka.

Kini masalaluku, kau sudah menemukan belahan jiwamu. Dan akupun sudah menyelesaikan pendidikanku. Aku yakin kau tahu apa yang aku maksud.! Aku berhak bahagia masalaluku. Terimakasih sudah mengantarkan aku menjadi wanita kuat dan tegar selama ini.

Kau tidak boleh lagi membelengguku dalam ruang gelapmu. Seperti kata beberapa orang yang mencoba meramalku. Bahkan membuatku harus benci dengan ramalan-ramalan itu. Seperti halnya kebencianku terhadap cara terbangsatmu. Dan sekarang,, ketika aku tulis surat balasan untukmu, sehari setelah aku selesaikan Tesisku, aku benar-benar menyadari, terbentuknya ramalan itu akibat kebencian yang lama bersarang di dalam hatiku. Aku menemukan secercah cahaya untuk menghidupkan hatiku. Cahaya itu disebut memaafkan dan mengkosongkan hati.

Masalaluku, setelah surat balasan untukmu ini selesai ku tulis, maka aku tegaskan, aku lepas semua kebencian pada cara terbangsatmu yang telah lama bersemayam dihatiku. Aku biarkan kebencian itu terbang bebas mengudara, dan lenyap ditelan cakrawala. Kini hatiku tidak lagi disemayami rasa benci itu, hatiku kembali kosong lalu menyiapkan tempat untuk menerima sesuatu yang baru. Sekali lagi, Terimakasih masalaluku, karenamu membentukku menjadi wanita yang kuat.

Belum ada Komentar untuk "Surat Balasan Untuk Masalaluku"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel