Mencintai lalu Menikah, atau Menikah lalu Mencintai? (Catatan Isi Hati Penulis)

Mencintai lalu Menikah, atau Menikah lalu Mencintai
Beberapa hari yang lalu saya terlibat percakapan dengan kakak sulung saya melalui aplikasi chating whatsapp. Topik yang kita bahas bertajuk tentang perasaan cinta dalam suatu hubungan, mencintai lalu menikah atau menikah lalu mencintai?(berat, lebih berat dari rindu Dilan, kamu nggak akan kuat, biar aku saja). Sebenarnya saya sih yang memulai mengirimkan umpan pertanyaan ke kakak saya yang notabene nya dia adalah seorang lelaki urakan dan apatis (hampir mirip-mirip gitu sama adiknya) terhadap cinta-cintaan, hihihi. Meski dia urakan, dia tetap menjadi figur panutan buat saya, membawa inspirasi tersendiri selama saya bernafas diatas muka bumi ini, yang tentunya hanya saya ambil sisi positif dari perjalanan hidup yang dia tempuh. Nah, umpan pertanyaan saya itu kalau dipikir-pikir sih emang unik bin lucu, secara mungkin mayoritas orang akan memiliki jawaban yang sama juga dengan jawaban kakakk saya jika dilempari pertanyaan konyol itu, bahkan saya rasa anak kelas TK aja bakal jawab kayak gitu, hehe. Meskipun pada akhirnya saya harus legowo karena mendapat jawaban dari kakak yang bertolak belakang dengan pemikiran dan yang saya harapkan. Sambil pegang dada, ngrasain pedihnya jawaban kakak yang menghujam hati.

Gini nih pertanyaan saya: "Mas, orang menikah itu apa harus cinta dulu ke orang yang akan dinikahi.?" (Inspirasi pertanyaan ini saya peroleh ketika beberapa bulan lalu lamanya saya mempunyai kenalan seorang temen yang bisa dibilang sangat baik dan dia tertarik mengajak saya menjalin hubungan serius, tetapi sayang, kadar rasa suka saya kepada dia itu tipis banget. Orangnya sih baik, nggak neko-neko, dan banyak banget point plus-nya daripada point minus-nya. Lalu apa yang bikin kamu nggak suka padahal tuh orang udah banyak point plus-nya? Nah, pinter amat ini orang sampai tanya ke sini segala. Nggak tau yaa, kalau dipikir-pikir sih dia emang calon imam yang baik kayaknya.

Tetapi ada suatu hal gitu yang seperti menghalangi saya untuk suka ke dia. Padahal selama ini saya lebih mengandalkan logika daripada perasaan saya untuk menentukan pendamping. Kalau di pikir secara logika sih, emang dia pantas banget mendapat julukan calon imam yang baik. Lantas apa? Bilang dong kenapa kamu nggak suka.! Yaaaaa ini yang bikin saya nggak 'ngeh' dan nggak ngerti. Kerap kali saya ngecewain dia karena kelabilan sikap saya yang terkesan maju mundur. Antara logika dan perasaan yang perang mulu bikin saya sangat sulit membuat keputusan pasti. Antara ingin dan tidak suka/tidak cinta. Tetapi banyak tidak sukanya deh kayakanya, yang kemudian membuat saya lebih sering menampakkan sikap cuek dan tidak peduli. Jadilah ini inspirasi saya membuat pertanyaan konyol yang kemudian saya lemparkan ke kakak saya. Padahal kalau di nilai sih, antara kakak saya dan orang itu punya sikap yang sangat berbanding terbalik. Antara Bad Guy and Good Guy.

Mau tau nggak gimana jawaban kakak saya? Jawabannya singkat, jelas, padat dan pedas pisan. Sampai ingin ku berkata KASAR, namun tak sanggup mengungkapkannya. Hihi.
Jawabannya gini: "Kamu itu tanya apa? Kok aneh.!", >  Aku jawab: "Nggak paham to sama pertanyaanku?", >  Dia: "Paham sih paham, tapi pertanyaanmu iku nggak masuk akal.", >  Saya diam terus menjawab: "Apanya yang nggak masuk akal? Namanya juga orang tanya. Cepetan Jawab.!",, >  Dia: "Yang jelas orang menikah itu ya karena cinta.!",, >  Saya: "Harus gitu ya? Kalau nggak cinta apa nggak boleh nikah.?",  > Dia: "Dih.. Lama-lama aneh juga ya kamu.!"
Oke diskusi selesai, anggap saja saya sudah mendapat jawaban yang sesuai dengan harapan saya, iyain aja biar kakak sulung saya seneng. Meskipun sebenarnya saya agak kecewa sih. Tentunya jika jawaban kakak saya sesuai harapan dan pemikiran saya, itu akan memberikan sedikit dukungan kepada saya untuk memberanikan diri mengambil satu langkah lebih maju.

Ini bentuk penyangkalan saya terhadap jawaban kakak saya yang mengharuskan untuk mencintai lalu menikah. (Kenapa nggak bilang langsung ke kakak kamu? Yaaa karena saya dan kakak itu sama-sama bersifat keras dan mudah emosi meskipun lebih parah si kakak, untuk itu saya lebih memilih mengalah aja, hehee. Daripada nanti kita berantem hanya gegara pertanyaan konyol kayak gitu). 

Jadi gini, menurut saya perasaan cinta itu bukan syarat mutlak untuk menjalin pernikahan (lalu kenapa kamu tidak memantapkan hatimu untuk mengiyakan dia yang menurutmu baik meskipun tidak kamu cintai? Tidak hanya sebatas itu saja alasannya untuk mengiyakan. Kalau dia baik buat aku, pastinya aku juga harus baik buat dia dong, dan aku belum mempunyai feel bahwa aku baik untuk dia. Lagi lagi alasan klasik ini muncul dariku).

Bener nggak penyangkalan saya? Kalau mencintai itu bukan syarat mutlak untuk memutuskan menikah? Banyak dari orang tua kita dulu yang memutuskan menikah meskipun belum didasari oleh rasa cinta itu, dan kenyataannya mereka bisa hidup bersama, menjalani masa sulit berdua, menikmati kebahagiaan, saling mengerti hingga pernikahan merekapun bisa langgeng. Apa karena sekarang sudah berubah menjadi jaman maju, membuat kita berpikiran jauh jauh jauh lebih maju lagi soal cinta tanpa belajar dari pengalaman hubungan orang terdahulu sebelum kita?

CINTA. Cinta adalah sebuah proses, kita bisa menumbuhkannya seiring berjalannya waktu ketika sudah hidup bersama (belajar dari orang tua saya). Saling mencintai bukanlah syarat mutlak sebuah keluarga dibentuk. Tidak ada jaminan bahwa "saling mencintai" sebelum pernikahan akan membuat sebuah keluarga menjadi langgeng (belajar dari kakak sulung saya yang mengatasnamakan cinta dalam menjalin pernikahan). Dan tidak ada jaminan juga bahwa tanpa adanya cinta sebelum pernikahan, akan membuat keluarga yang dibentuk menjadi tidak langgeng. Karena munculnya konflik-konflik dalam sebuah keluarga hanyalah sebagai akibat dari belum adanya saling mengenal secara mendalam. Dan menurut saya cinta sebelum ada ikatan pernikahan itu sebenarnya lebih bersifat emosional, sehingga banyak pasangan yang awalnya begitu membara cintanya kemudian menjadi padam setelah menikah. Jadi keberhasilan membina rumah tangga lebih banyak bergantung pada faktor bisa tidaknya sepasang suami istri saling menyesuaikan diri satu sama lain, dengan mengutamakan akhlakul kharimah dan masing-masing dari keduanya tahu serta bertanggung jawab akan hak dan kewajibannya.

Bagaimana pendapat kalian mengenai cinta dan pernikahan? Bagaimanapun itu, kita harus bijak dalam menanggapi pendapat masing-masing orang yes. Tidak bisa kita memaksakan apa yang menjadi pendapat kita untuk di sepakati orang lain. Mencintai lalu menikah, atau menikah lalu mencintai, keduanya merupakan suatu proses, dan hasil yang sempurna tentunya melewati proses yang baik  dan tidak mudah. Sooo, memilih berproses dari Mencintai lalu Menikah, atau Menikah lalu Mencintai adalah hak masing-masing orang, yang penting harus bertanggung jawab dari pilihan tersebut. Okee.

Belum ada Komentar untuk "Mencintai lalu Menikah, atau Menikah lalu Mencintai? (Catatan Isi Hati Penulis)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel