Gunung Budeg Part II (Ketika Keteguhan Kembali Diuji)

Kulino Dewe :-D
Pertama-tama, ketika tulisan ini saya buat, saya sedang mencoba memasuki dimensi amnesia (melumpuhkan salah satu sel neuron yang ada didalam otak terkait suatu hal). Sore itu, saya berangkat sendirian dari rumah dengan tekat yang bulat. Mungkin gunung memang tempat yang tepat sebagai pelarian ternyaman ketika berbagai masalah membuat kita goyah untuk berdiri, namun saya yakin saya mampu, saya tetap mampu berdiri diatas kaki saya sendiri, Alhamdulillah. Sekitar pukul 16.00 saya memulai perjalanan saya dengan registrasi di pos registrasi, mengikuti alur registrasi seperti biasanya dimulai dari mengisi nama, alamat, nomor HP serta meninggalkan identitas saya (KTP) yang besoknya ketika turun harus diambil  dan ditukarkan dengan sekresek sampah dari logistic yang kita bawa dan biaya sebesar 5000rupiah per-orang, biaya yang tidak berubah selama bertahun-tahun setelah saya pertama kali naik ke Gunung Budeg ini hingga sekarang.

Sekali lagi, hanya bermodal tekat bulat pada saat itu. Jujur nyesek juga sih pada awalnya, tambah nyesek lagi ketika berangkat trakking ternyata ada sepasang muda-mudi (ntah pacaran atau tidak, saya nggak nanya) yang trakking juga bersamaan dengan saya (ngarep mburi, ora barengan). Baper sih baper, tetapi saya mampu menepisnya. Bukankah selama ini saya terbiasa sendiri (idihhh curhat) bahkan jika ketika sedang bersama dengan seseorang dan bersamanyapun membuat saya merasa sendiri (kulino dewe). Sekitar 1,5 jam saya sampai puncak Gunung Budeg yang sebelah barat, lalu saya mendirikan tenda (belajar bangun tenda dulu sebelum bangun rumah tangga, eeeaaaa).

Cuaca cerah, dengan gemerlap lampu kota dihadapan saya menambah tenang suasana hati yang tengah mencengkam. Angin malam saat itu berhembus kencang, dan seolah-olah ingin membawa tenda serta perasaan saya terbang lalu terhempas jatuh hingga hancur berkeping-keping (awal kehancuran dimulai). Sendiri bukan berarti tidak berdua pada saat itu, saya ditemani banyak orang. Yaaa meskipun bukan seseorang yang sejatinya memang sengaja menemani saya. Sedikit demi sedikit saya teguk kopi saya. Sedikit menghangatkan perasaan yang saat itu gundah gulana. Memang saya masih bisa tersenyum, dan saya selalu bisa tersenyum dalam menghadapi semua hal, bahkan kepedihan sekalipun. Seperti malam itu. Mungkin bercengkrama dengan alam bisa menjadi salah satu media saya untuk berefleksi dan  bertaddabur meskipun pada akhirnya menyisakan luka yang teramat dalam (karena kesalahan saya menempatkan suatu hal pada level tertinggi). Tidak adil bila kita mengharapkan kebahagiaan lebih, tetapi tidak siap dengan pengorbanan dan kesedihan yang lebih pula.
Ngopi di Ketinggian, dengan background
belakang kerlap-kerlip lampu kota.
Menemani seseorang mendaki, saling memberi dukungan supaya sama-sama sampai puncak dan menikmati keindahan bersama, survive dalam keadaan apapun (bertahan dan mencari solusi ketika frame tenda patah, berdiskusi untuk mengambil keputusan dimana mendirikan tenda karena terkendala cuaca, saling membantu dan menguatkan dalam perjalanan). Itu hanya sedikit filosofi dari hidup yang saya jalani dalam waktu dekat ini. Ketika memutuskan untuk mencintai dan menerima seseorang di dalam hidup saya, maka saat itu saya sudah siap menghadapi segala resiko yang terjadi, berjuang bersama hingga kamipun bisa mewujudkan visi-misi bersama. Namun saya kira hal itu belum cukup bagi seseorang untuk tetap bertahan dan memegang komitmennya dengan saya, hingga kenyataan pahitpun terjadi.

Saya tidak tau, mengapa sulit sekali percaya kepada suatu hal setelah terhancurkan. Bahkan ketika kita sudah memberikan maaf kepadanya,lalu memutuskan kembali sekalipun-kita tidak akan lagi menemukan suasana yang sama. Semua telah berbeda dari sebelumnya. Senja yang saya temukan indah, rupanya kenyataannya tak seindah yang saya lihat. Apakah dari itu membuat saya lantas membenci senja? Tidak.

SENJA?
(Kamu tau? Terkadang cukup dengan melihatmu bahagia dari jauh, aku temukan bahagiaku. Meski entah ini memang bahagia yang sesungguhnya, atau imajinasiku yang terlalu mengada-ada? Entah dengan melihatmu tersenyum aku juga merasakan hal yang sama, atau semua  hanya karena aku tak lagi punya pilihan.! Terkadang lucu jika memang benar ada wujud bahagia seperti itu. Padahal kalau boleh jujur, AKU INGIN BAHAGIAMU YANG DIBAGI DENGANKU. Lalu aku harus kemana? Tepatnya aku harus bagaimana? Menerimamu yang ingin bersama lalu merelakanmu pergi begitu saja, padahal aku ingin kamu ada.! Kamu ingin (si) apa.? Aku dengan perasaan sekeras batu atau sikap sediam patung.? Sebab, bagaimana mungkin aku mampu untuk terus bertahan melihatmu semudah itu berlalu, namun harus menjadi siap ketika kamu tak menemukan siapa-siapa lagi untuk berbagi.? Yang perlu kamu tau, memilihmu bukanlah pilihan, tapi keputusan. Keputusan harus bersikap Radikal seperti yang kamu bilang, mengiyakan kamu dan meniadakan yang lain).
Sudahlah, akhirnya keesokan harinya saya pulang. Membawa cerita baru yang mungkin terlalu indah  untuk dilupakan dan terlalu sedih untuk dikenang.......................

Miss U from 600MDPL..
Tetap Teguh dikala Rapuh :-D
Aku ingin menyimpanmu dalam tulisan-tulisan yang kutulis dengan kesedihan. Bukan untuk memamerkan betapa terlukanya aku. Aku hanya ingin saat membaca kembali tulisanku, kamu tahu betapa aku pernah begitu dalam mencintaimu. Seseorang yang pernah sungguh-sungguh memohon hatimu. Kita pernah duduk berdua di Senja yang sama. Kita pernah berteduh berdua sembari menunggu hujan reda. Menulis tulisan ini bukan karena aku ingin kamu menyadari batapa aku mencintaimu, lalu membuatmu merasa menyesal. Tidak begitu tujuanku.

Aku hanya ingin memberi alarm pengingat pada diriku sendiri,  bahwa Tuhan pasti murka ketika kita mensejajarkan suatu hal di level tertinggi sejajar dengan-NYA, hingga entah dengan cara yang bagaimana Tuhan pasti akan menegur kita. Kali ini aku ingin mengingatmu berkali-kali bukan untuk memintamu kembali, karna aku tidak berhak atas itu. Bukan juga untuk membawamu hidup lagi dalam hidupku. Aku hanya ingin mengenang masa-masa bagaimana bertahan sakit. Bagaimana berjuang dan bangkit. Bagaimana mencari jalan pulang setelah di patah-hatikan. Aku ingin mengingat dan mengenang semuanya lalu menuliskannya lewat kata-kata. Mungkin akan kamu baca atau mungkin hanya untuk aku simpan. Namun menuliskan kenangan adalah salah satu cara untuk menenangkan.
Senja Di Sore itu..




2 Komentar untuk "Gunung Budeg Part II (Ketika Keteguhan Kembali Diuji)"

  1. Keren mbak , jam tangan kita sama ya hahah ..

    nitip blog ya mbak salam dari medan : candrarudi.com

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel